25 November 2012

TABARRUJ ALA JAHILIYAH

TABARRUJ ALA JAHILIYAH

و قرن في بيوتكن و لا تبرجن تبرج الجاهلية الأولى و أقمن الصلاة و ءاتين الزكاة و أطعن الله و رسوله إنما يريد الله ليذهب عنكم الرجس أهل البيت و يطهركم تطهيرا  ‏‏‏[‏الأحزاب‏:‏33‏]‏‏.‏

Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu. Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan taatilah Alloh dan Rosul-Nya. Sesungguhnya Alloh bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlul bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. (QS. Al-Ahzab [33]: 33)
Dalam ayat yang mulia ini Alloh Ta’ala memerintahkan wanita-wanita yang terbaik dan yang paing suci, yakni istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tetap tinggal di rumah-rumah mereka dan melarang mereka untuk melakukan tabarruj ala jahiliyah. Jika mereka saja dilarang oleh Alloh, padahal mereka kaum wanita yang paling baik lagi suci, maka selain mereka tentu lebih utama untuk dilarang.
Hal ini membuktikan bahwa agama Islam yang mulia ini sangat menjaga kehormatan kaum wanita, memuliakan an meninggikan derajatnya, menolak mafsadah (bahaya) serta menutup pintu fitnah yang dapat mencabik-cabik kehormatan, meremehkan dan merendahkan kedudukannya.

Apakah yang dimaksud dengan tabarruj? Amalan apakah yang termasuk dalam kategori tabarruj? Apa dampak negatif tabarruj? Marilah sejenak kita memperhatikan penjelasan yang berkaitan dengannya, dengan senantiasa memohon kepada Alloh Ta’ala, semoga Dia senantiasa member taufiq untuk mengamalkan semua ilmu dan pengetahuan kita.
MAKNA TABARRUJ
Secara bahasa tabarruj bermakna (اَلظُّهُوْرُ) yang artinya tampak. Maksudnya, seorang wanita menampakkan sebaian badan atau perhiasannya.
Dari makna ini, dinamailah bintang-bintang dengan “burujus sama” (perhiasan langit) karena kenampakannya. Dan dikatakan pula bahwa ia berasal dari kata keluarnya kaum wanita dari burj, yakni istana. Dinamai istana dengan burj karena luasnya. Ia terambil dari kalimat al-burj, maknanya luas. (lihat Harosatul Fadhilah 88 karya Syaikh Bakar bin Abdillah Abu Zaid)
Adapun secara syar’i bermakna menampakkan perhiasan atau keindahan dan kecantikannya kepada lelaki asing (bukan mahromnya).
YANG TERMASUK TABARRUJ
Dari makna tabarruj di atas, sebagian ulama menyimpulkan bahwa ada beberapa hal yang masuk ke dalam kategori tabarruj, yaitu:
1. Melepas hijab dan menampakkan sebagian anggota badannya di depan laki-laki asing.
2. Menampakkan sebagian perhiasan yang dipakainya,semisal pakaian dalamnya.
3. Berjalan dengan berlenggak-lenggok lagi sombong di depan kaum lelaki.
4. Menghentakkan kakinya agar dilihat apa yang tersembunyi dari perhiasannya.
5. Melembutkan suaranya di depan laki-laki yang bukan mahromnya.
6. Bercampur dengan kaum laki-laki yang bukan mahromnya, atau menyentuhkan badannya ke badan laki-laki yang bukan mahromnya dengan cara berjabat tangan atau yang lainnya.
7. Menyerupai kaum laki-laki.
8. Menyerupai kaum wanita kafir dalam kekhususan-kekhususan mereka.
HUKUM TABARRUJ
Tabarruj hukumnya haram berdasarkan al-Qur’an, sunnah dan ijma’ ulama kaum muslimin. Dalil dari al-Qur’an adalah surat al-Ahzab ayat 33 dan surat an-Nur ayat 60. Dan dalil dari sunnah adalah hadits berikut:
 صنفان من أهل النار لم أرهما بعد : رجال معهم سياط كأذناب البقر يضربون بها الناس ، ونساء كاسيات عاريات مائلات مميلات على رؤوسهن كأسنمة البخت المائلة ، لا يدخلن الجنة ولا يجد ريحها ، وإن ريحها ليوجد من مسيرة كذا وكذا
“Ada dua golongan ahli neraka yang saya belum melihat keduanya, yaitu (1) suatu kaum yang memiliki cemeti semisal ekor sapi untuk memukul manusia, (2) wanita yang berpakaian tapi telanjang, berjalan meliuk-liuk, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Mereka tidak akan masuk surga (pertama kali) dan tidak pula akan mencium baunya. Padahal bau surge sungguh dijumpai sejak perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim 5704)
Hadits ini merupakan nash/dalil dalam masalah ini dan sekaligus menunjukkan bahwa tabarruj merupakan dosa besar. Sedankang dalil dari ijma’: Seluruh ulama kaum muslimin telah sepakat bahwa tabarruj haram hukumnya, sebagaimana yang telah dinukil oleh ash-Shon’ani dalam Minhatul Ghoffar ‘ala Dhouin Nahar 4/2011-2012.
DAMPAK NEGATIF TABARRUJ
Ketahuilah wahai saudariku yang dirohmati Alloh, tidaklah Alloh memerintahkan sesuatu kecuali di dalamnya terdapat manfaat yang murni atau yang lebih besar daripada madhorotnya. Demikian pula sebaliknya, tidaklah Alloh melarang sesuatu kecuali di dalamnya terdapat madhorot yang murni atau yang lebih besar dari manfaatnya, termasuk di dalamnya larangan bertabarruj.
Sebagian ahli ilmu menyebutkan beberapa dampak negatif dari tabarruj, di antaranya:
1. TERMASUK DOSA BESAR
Umaimah binti Ruqoiqoh datang untuk berbai’at kepada Rosululloh shallallahu alaihi wa sallam. Rosululloh bersabda kepadanya: “Aku membai’atmu untuk tidak berbuat kesyirikan, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak, tidak berdusta, tidak bertabarruj ala jahiliyah yang pertama.” (HR. Ahmad 2/196 dengan sanad shohih)
2. MENYEBABKAN LAKNAT ALLOH
Dari Abdulloh bin Amr radhiyallahu ‘anhu bersabda: “Aka nada pada akhir umatku ini, kaum wanita yang berpakaian tapi telanjang, berjalan meliuk-liuk, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Maka laknatlah mereka sebab mereka adalah kaum wanita yang terlaknat.” (Hadits shohih riwayat ath-Thobroni 232)
3. MERUPAKAN SIFAT PENDUDUK NERAKA
Nabi shallollahu ‘alaihi was allam bersabda: “Ada dua golongan ahli neraka yang saya belum melihat keduanya, yaitu (1) suatu kaum yang memiliki cemeti semisal ekor sapi untuk memukul manusia, (2) wanita yang berpakaian tapi telanjang, berjalan meliuk-liuk, kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Mereka tidak akan masuk surga (pertama kali) dan tidak pula akan mencium baunya. Padahal bau surge sungguh dijumpai sejak perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim 5704)
4. MERUPAKAN KEGELAPAN DI HARI KIAMAT
Dari Maimunah binti Sa’d radhiyallahu ‘anha, Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Permisalan seorang wanita yang berhias untuk selain suaminya adalah semisal kegelapan di hari kiamat, tak ada cahaya sedikitpun baginya.” (Hadits dho’if riwayat at-Tirmidzi 1167)
Berkata Abu Bakar al-Arobi: “Imam Tirmidzi telah menyebutkan dalam sunannya dan mendho’ifkannya, tetapi maknanya shohih. Sebab kelezatan dalam maksiat adalah adzab, istirahat dalam maksiat adalah kepayahan, kekenyangan adalah kelaparan, keberkahan adalah hilangnya berkah, cahaya adalah kegelapan, wewangian adalah bau busuk…” (Aridhotul Ahwadzi 5/ 113-114)
5. TERMASUK KEMUNAFIKAN
Dari Abu Udzainah ash-Shodafi bahwasanya Nabi Shallallohu ‘alaihi wa sallam berkata: …Sejelek-jelek wanita adalah wanita yang bertabarruj. Mereka adalah wanita-wanita munafik… (Hadits shohih riwayat al-Baihaqi 7/82)
6. MENYINGKAP AIB DIRI SENDIRI
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha : Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Siapapun wanita yang membuka penutup auratnya pada laki-laki yang bukan mahromnya, sungguh ia telah merobek tabir penutup antara dia dan Alloh.” (HR. Ahmad 6/ 199)
7. TERMASUK JALAN IBLIS
Bila kita memperhatikan kisah Nabi Adam beserta Hawa dengan Iblis, sehingga mereka dikeluarkan dari surge, kita akan mengetahui bahwa Iblis mempunyai keinginan kuat agar aurat Nabi Adam dan Hawa terbuka. Iblis adalah penyeru kepada kesesatan, dan salah satu jalannya adalah mengumbar aurat yang merupakan bagian dari tabarruj yang terlarang
Oleh karena itulah Alloh Ta’ala mengingatkan anak turun Nabi Adam dalam firman-Nya:
يَا بَنِي آدَمَ لاَ يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُم مِّنَ الْجَنَّةِ يَنزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْءَاتِهِمَا إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لاَ تَرَوْنَهُمْ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاء لِلَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ}
“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga. Ia menanggalkan pakaian keduanya agar aurat keduanya terlihat. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin-pemimpim bagi orang-orang yang tidak beriman.” (QS. al-A’rof [7]: 27)
8. TERMASUK PERBUATAN JAHILIYAH
Tabarruj merupakan perbuatan jahiliyah. Barangsiapa melakukannya, sungguh ia termasuk orang yang dimurkai Alloh Ta’ala. Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Manusia yang paling dibenci oleh Alloh subhanahu wa Ta’ala ada tiga golongan: (1) orang yang berbuat kerusakan di tanah Haram, (2) orang yang mencari sunnah jahiliyah, (3) orang yang menuntut darah seseorang dengan tanpa hak untuk menumpahkan darahnya.” (HR. Bukhori 6882)
Dan seluruh perkara jahiliyah telah ditanggalkan oleh Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya: “Kethuilah, semua perkara jahiliyah telah ditanggalkan di bawah kedua telapak kakiku.” (HR. Abu Dawud 1905)
9. MERUPAKAN KEMUNDURAN
Barangsiapa menelaah kisah Nabi Adam, Hawa, dan Iblis, akan mendapati bahwa fitroh manusia adalah menutupi auratnya. Allah subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَدَلَّاهُمَا بِغُرُورٍ ۚ فَلَمَّا ذَاقَا الشَّجَرَةَ بَدَتْ لَهُمَا سَوْآتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفَانِ عَلَيْهِمَا مِنْ وَرَقِ الْجَنَّةِ ۖ وَنَادَاهُمَا رَبُّهُمَا أَلَمْ أَنْهَكُمَا عَنْ تِلْكُمَا الشَّجَرَةِ وَأَقُلْ لَكُمَا إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمَا عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Maka setan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasakan buah kayu itu, nampaklah aurat keduanya, Dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Rabb mereka menyeru mereka: “Bukankah Aku telah melarang kalian berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu: “Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian berdua?”” (QS. al A’rof [7]: 22
Berbeda dengan makhluk Alloh yang lainnya. Mereka tidak memiliki fitroh yang seperti ini. Dengan inilah Alloh subhanahu wa Ta’ala memuliakan dan melebihkannya dari makhluk-makhluk Alloh yang lain. Alloh Ta’ala berfirman:
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. al-Isro’ [17]: 70)
Barangsiapa meninggalkan fitrohnya, maka itu merupakan sebauh kemunduran dan kehinaan karena akan menyebabkan munculnya berbagai kejelekan dan kerusakan.
Bila kta merenungi nash-nash syar’i dan menoleh kepada sejarah, akan tampak jelas bahwa tabarruj menimbulkan kejelekan dan kerusakan yang merata, di antaranya:
Ø Menyebabkan pemuda dan pemudi berpaling dari menikah secara syar’i dan dikekang oleh syahwat yang menggelora.
Ø Menyebabkan hilangnya rasa cemburu dan malu.
Ø Menyebabkan munculnya berbagai tindakan criminal.
Ø Merusak akhlak pemuda dan pemudi.
Ø Menyebabkan hancurnya hubungan keluarga dan rasa saling percaya antara anggota keluarga.
Ø Direndahkannya harkat dan martabat kaum wanita sehingga menjadi sarana periklanan, hiburan, dan lain-lain.
Ø Dilakukannya tindakan-tindakan jelek kepada kaum wanita.
Ø Menyebabkan turunnya berbagai penyakit ganas.
Ø Mempermudah jalan perzinaan.
Ø Menyebabkan turunnya bencana secara umum.
Semoga Alloh menjaga kita dari fitnah agama dan dunia, baik yang zhohir maupun yang batin, dan menetapkan seluruh kaum muslimin serta pemuda dan pemudi muslim secara khusus di atas jalan kebenaran. Amin.

Oleh : Ustadz Abu Qushoiy al-Anwar

21 November 2012

Telah Wafat Al-Akh Adi Abu Al-AlBani, Kru Rodja

Innaa lillaahi wa inna ilaihi rooji’un….Hati Bersedih…,Air mata berurai semoga Alloh Rahmati Saudara Kami Sahabat Kami, Al-Akh Adi Abu Al Bani Rohimahulloohu Ta’ala, Salah satu kru Terbaik Rodja 756 AM, yang wafat tadi malam ketika beliau tertidur, Semoga Alloh Ampuni dan Alloh tetapkan beliau untuk bisa menjawab pertanyaan Malaikat di Alam Kuburnya, Allohummaghfirlahu Alloohumma tsabithu.Aamiin.














sumber

10 November 2012

MUHARRAM (SURO) BULAN KERAMAT ?


MUHARRAM (SURO) BULAN KERAMAT ?


MUHARRAM (SURO) BULAN KERAMAT ?

Muharram (Suro) dalam kacamata masyarakat, khususnya Jawa, merupakan bulan keramat. Sehingga mereka tidak punya keberanian untuk menyelenggarkan suatu acara terutama hajatan dan pernikahan. Bila tidak di indahkan akan menimbulkan petaka dan kesengsaraan bagi mempelai berdua dalam mengarungi bahtera kehidupan. Bahkan ada yang  mengatakan: “Pernah ada yang menyelenggarakan pernikahan di bulan Suro (Muharram), dan ternyata tertimpa musibah!”. Maka kita lihat, bulan ini sepi dari berbagai acara. Selain itu, untuk memperoleh kesalamatan diadakan berbagai kegiatan. Sebagian masyarakat mengadakan tirakatan pada malam satu Suro (Muharram), entah di tiap desa, atau tempat lain seperti puncak gunung. Sebagiannya lagi mengadakan sadranan, berupa pembuatan nasi tumpeng yang dihiasi aneka lauk dan kembang lalu di larung (dihanyutkan) di laut selatan disertai kepala kerbau. Mungkin supaya sang ratu pantai selatan berkenan memberikan berkahnya dan tidak mengganggu.
Itulah sekelumit gambaran kepercayaan masyarakat khususnya Jawa terhadap bulan Muharram (Suro). Mungkin masih banyak lagi tradisi yang belum terekam disini. Kelihatannya tahayul ini diwarisi dari zaman sebelumnya mulai animisme, dinamisme, hindu dan budha. Ketika Islam datang keyakinan-keyakinan tersebut masih kental menyertai perkembangannya. Bahkan terjadi sinkretisasi (pencampuran). Ini bisa dicermati pada sejarah kerajaan-kerajaan Islam di awal pertumbuhan dan perkembangan selanjutya, hingga dewasa ini ternyata masih menyisakan pengaruh tersebut.

MUHARRAM (SURO) DALAM PANDANGAN ISLAM
1. Muharram Adalah Bulan Yang Mulia
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu” [At-Taubah : 36]
Imam Ath-Thabari berkata : “Bulan itu ada dua belas, empat diantaranya merupakan bulan haram (mulia), dimana orang-orang jahiliyah dahulu mengagungkan dan memuliakannya. Mereka mengharamkan peperangan pada bulan tersebut. Sampai seandainya ada seseorang bertemu dengan orang yang membunuh ayahnya maka dia tidak akan menyerangnya. Bulan empat itu adalah Rajab Mudhor, dan tiga bulan berurutan, yaitu Dulqqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. Dengan ini nyatalah khabat-khabar yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Kemudian At-Thabari meriwayatkan beberapa hadits, diantaranya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Wahai manusia, sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana keadaan ketika Allah menciptakan langit dan bumi, dan sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ada dua belas bulan, diantaranya terdapat empat bulan haram, pertamanya adalah Rajab Mudhor, terletak antara Jumadal (akhir) dan Sya’ban, kemudian Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram”
Dan ini merupakan perkataan mayoritas ahli tafsir {Jami’ul Bayan 10/124-125]
Imam Al-Qurthubi berkata : “Pada ayat ini terdapat delapan permasalahan. Yang keempat : Bulan haram yang disebutkan dalam ayat adalah Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab yang terletak antara Jumadal Akhir dan Sya’ban. Dinamakan Rajab Mudhor, karena Robi’ah bin Nazar, mereka mengharamkan bulan Rajab itu sendiri”. Kedelapan : “Allah menyebut secara khusus empat bulan ini dan melarang perbuatan dzolim pada bulan-bulan tersebut sebagai pemuliaan, walaupun perbuatan dzolim itu juga dilarang pada setiap waktu, seperti firman Allah.
فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ
“Maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji” [Al-Baqarah : 197]
Ini menurut mayoriyas ahli tafsir Maksudnya janganlah kalian berbuat kedholiman pada empat bulan tersebut. [Al-Jami Li Ahkamil Qur’an 4/85-87]
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di berkata : “Empat bulan tersebut adalah Rajab, Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram. Dinamakan haram karena kemuliaan yang lebih dan diharamkannya peperangan pada bulan tersebut” [Tatsiru Karimir Rohmah Fi Tafsiri Kalamil Mannan hal, 296]
Imam Al-Baghawi berkata : “Janganlah kalian berbuat dzalim pada semua bulan (dua belas bulan) tersebut dengan melakukan kemaksiatan dan melalaikan kataatan”. Ada yang berpendapat bahwa kalimat “fiihinna” maksudnya adalah empat bulan haram tersebut. Qotadah berkata : “Amalan shalih pada bulan haram pahalanya sangat agung dan perbuatan dholim di dalamnya merupakan kedholiman yang besar pula dibanding pada bulan selainnya, walaupun yang namanya kedholiman itu kapanpun merupakan dosa yang besar”. Ibnu Abbas berkata : “Janganlah kalian berbuat dholim pada diri kalian, yang dimaksud adalah menghalalkan sesuatu yang haram dan melakukan penyerangan”. Muhammad bin Ishaq bin Yasar berkata : “Janganlah kalian menghalalkan sesuatu yang haram dan mengharamkan yang halal, seperti perbuatan orang-orang musyrik yaitu mengundur-undurkan bulan haram (yaitu pada bulan Safar)’ [Ma’alimut Tanzil 4/44-45]
Imam Bukhari ketika menafsirkan ayat di atas (At-Taubah : 36) membawakan suatu hadits.
“Artinya : Dari Abu Bakrah Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda : “Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana keadaan ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun ada dua belas bulan diantaranya terdapat empat bulan haram, tiga bulan berurutan yaitu Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab Mudhor yang terletak antara Jumadal (akhir) dan Sya’ban” [Hadits Riwayat Bukhari : 4662]
Imam Nawawi dalam Syarah Muslim mengatakan : “Kaum muslimin telah sepakat bahwa empat bulan haram seperti termaktub dalam hadits, tetapi mereka berselisih cara mengurutkannya. Sekelompok penduduk Kufah dan Arab mengurutkan : Muharram, Rajab, Dzulqo’dah dan Dzulhijjah, agar empat bulan tersebut terkumpul dalam satu tahun. Ulama Madinah, Basrah dan mayoritas ulama mengurutkan, Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab, tiga berurutan dan satu bulan tersendiri (Rajab). Inilah pendapat yang benar sebagaimana tertera dalam hadits-hadits yang shahih,diantaranya hadits yang sedang kita perbincangkan.Oleh karenanya hal ini lebih sesuai (memudahkan) manusia untuk melakkan thawaf pada semua buan haram tersebut. [10/319-320]
Termasuk kemuliaan bulan-bulan haram adalah dilarangnya peperangan pada bulan tersebut. Hanya saja larangan ini di-mansukh (dihapus) hukumnya menurut jumhur ulama. Karena di dalam Islam peperangan itu terbagi menjadi dua, diijinkan dan dilarang. Peperangan yang dijinkan dibolehkan bila adanya sebab. Sedangkan peperangan yang haram itu dilarang kapan saja. Maka tidak ada lagi keistimewaan bagi bulan-bulan haram kecuali sebatas kemulyaan yang sudah ditentukan pada hari-hari sebelumnya yaitu terbatas pada waktu-waktu yang utama.
Imam Al-Hasan Al-Bashri mengatakan : “Sesungguhnya Allah membuka tahun dengan bulan haram dan menutupnya juga dengan bulan yang haram. Tidak ada bulan yang paling mulya disisi Allah setelah Ramadhan (selain bulan-bulan haram ini, -pen)”.
Pada bulan Muharram ini terdapat hari yang pada hari itu terjadi peristiwa yang besar dan pertolongan yang nyata, menangnya kebenaran mengalahkan kebathilan, dimana Allah telah menyelamatkan Musa ‘Alaihis sallam dan kaumnya dan menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya. Hari tersebut mempunyai keutamaan yang agung dan kemuliaan yang abadi sejak dulu. Dia adalah hari kesepuluh yang dinamakan Asyura. [Durusun ‘Aamun, Abdul Malik Al-Qasim, hal.10]
MENGANGGAP SIAL BULAN MUHARRAM
Ketahuilah saudaraku bahwa  mengatakan satu waktu atau bulan tertentu adalah bulan penuh musibah dan penuh kesialan, itu sama saja dengan mencela waktu. Jika demikian maka marilah kita melihat penilaian agama Islam mengenai  hal ini.
1.Mencela Waktu atau Bulan
Perlu kita ketahui bersama bahwa mencela waktu adalah kebiasaan orang-orang musyrik. Mereka menyatakan bahwa yang membinasakan dan mencelakakan mereka adalah waktu. Allah pun mencela perbuatan mereka ini. Allah Ta’ala berfirman,
وَقَالُوا مَا هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلَّا الدَّهْرُ وَمَا لَهُمْ بِذَلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ
“Dan mereka berkata: ‘Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa (waktu)’, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.” (QS. Al Jatsiyah [45] : 24). Jadi, mencela waktu adalah sesuatu yang tidak disenangi oleh Allah. Itulah kebiasan orang musyrik dan hal ini berarti kebiasaan yang jelek.
Begitu juga dalam berbagai hadits disebutkan mengenai larangan mencela waktu. Dalam shohih Muslim, dibawakan Bab dengan judul ‘larangan mencela waktu (ad-dahr)’. Di antaranya terdapat hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ
“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,’Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mencela waktu, padahal Aku adalah (pengatur) waktu, Akulah yang membolak-balikkan malam dan siang.” (HR. Muslim no. 6000)
Dalam lafadz yang lain, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ يَقُولُ يَا خَيْبَةَ الدَّهْرِ. فَلاَ يَقُولَنَّ أَحَدُكُمْ يَا خَيْبَةَ الدَّهْرِ. فَإِنِّى أَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ لَيْلَهُ وَنَهَارَهُ فَإِذَا شِئْتُ قَبَضْتُهُمَا
“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, ‘Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mengatakan ‘Ya khoybah dahr’ [ungkapan mencela waktu, pen]. Janganlah seseorang di antara kalian mengatakan ‘Ya khoybah dahr’ (dalam rangka mencela waktu, pen). Karena Aku adalah (pengatur) waktu. Aku-lah yang membalikkan malam dan siang. Jika suka, Aku akan menggenggam keduanya.” (HR. Muslim no. 6001)
An Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shohih Muslim (7/419) mengatakan bahwa orang Arab dahulu biasanya mencela masa (waktu) ketika tertimpa berbagai macam musibah seperti kematian, kepikunan, hilang (rusak)-nya harta dan lain sebagainya sehingga mereka mengucapkan ‘Ya khoybah dahr’ (ungkapan mencela waktu, pen) dan ucapan celaan lainnya yang ditujukan kepada waktu.
Setelah dikuatkan dengan berbagai dalil di atas, jelaslah bahwa mencela waktu adalah sesuatu yang telarang. Kenapa demikian? Karena Allah sendiri mengatakan bahwa Dia-lah yang mengatur siang dan malam. Apabila seseorang mencela waktu dengan menyatakan bahwa bulan ini adalah bulan sial atau bulan ini selalu membuat celaka, maka sama saja dia mencela Pengatur Waktu, yaitu Allah ‘Azza wa Jalla.
Perlu diketahui bahwa mencela waktu bisa membuat kita terjerumus dalam dosa bahkan bisa membuat kita terjerumus dalam syirik akbar (syirik yang mengeluarkan pelakunya dari Islam). Perhatikanlah rincian Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah dalam Al Qoulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid berikut.
Mencela waktu itu terbagi menjadi tiga macam:
Pertama; jika dimaksudkan hanya sekedar berita dan bukanlah celaan, kasus semacam ini diperbolehkan. Misalnya ucapan, “Kita sangat kelelahan karena hari ini sangat panas” atau semacamnya. Hal ini diperbolehkan karena setiap amalan tergantung pada niatnya. Hal ini juga dapat dilihat pada perkataan Nabi Luth ‘alaihis salam,
هَـذَا يَوْمٌ عَصِيبٌ
“Ini adalah hari yang amat sulit.” (QS. Hud [11] : 77)
Kedua; jika menganggap bahwa waktulah pelaku yaitu yang membolak-balikkan perkara menjadi baik dan buruk, maka ini bisa termasuk syirik akbar. Karena hal ini berarti kita meyakini bahwa ada pencipta bersama Allah yaitu kita menyandarkan berbagai kejadian pada selain Allah. Barangsiapa meyakini ada pencipta selain Allah maka dia kafir. Sebagaimana seseorang meyakini bahwa ada sesembahan selain Allah, maka dia juga kafir.
Ketiga; jika mencela waktu karena waktu adalah tempat terjadinya perkara yang dibenci, maka ini adalah haram dan tidak sampai derajat syirik. Tindakan semacam ini termasuk tindakan bodoh (alias ‘dungu’) yang menunjukkan kurangnya akal dan agama. Hakikat mencela waktu, sama saja dengan mencela Allah karena Dia-lah yang mengatur waktu, di waktu tersebut Dia menghendaki adanya kebaikan maupun kejelekan. Maka waktu bukanlah pelaku. Tindakan mencela waktu semacam ini bukanlah bentuk kekafiran karena orang yang melakukannya tidaklah mencela Allah secara langsung. –Demikianlah rincian dari beliau rahimahullah yang sengaja kami ringkas-
Maka perhatikanlah saudaraku, mengatakan bahwa waktu tertentu atau bulan tertentu adalah bulan sial atau bulan celaka atau bulan penuh bala bencana, ini sama saja dengan mencela waktu dan ini adalah sesuatu yang terlarang. Mencela waktu bisa jadi haram, bahkan bisa termasuk perbuatan syirik. Hati-hatilah dengan melakukan perbuatan semacam ini. Oleh karena itu, jagalah selalu lisan ini dari banyak mencela. Jagalah hati yang selalu merasa gusar dan tidak tenang ketika bertemu dengan satu waktu atau bulan yang kita anggap membawa malapetaka. Ingatlah di sisi kita selalu ada malaikat yang akan mengawasi tindak-tanduk kita.
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan para malaikat Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri.” (QS. Qaaf [50] : 16-17)
2.Merasa Sial Dengan Waktu Tertentu
Inilah tinjauan kedua kita yaitu merasa sial dengan waktu tertentu. Merasa sial biasa muncul ketika seseorang mendapatkan bencana atau musibah. Ketika terjadi seperti ini barulah dia mengatakan, “Waduh! Bencana ini karena kesialan dari Si A atau kesialan pada bulan ini.” Itulah yang dicontohkan oleh Fir’aun. Ketika dia mendapatkan bencana barulah dia mengatakan bahwa ini semua disebabkan oleh Musa. Artinya Musa-lah yang mendatangkan kesialan.
Perhatikanlah firman Allah Ta’ala berikut ini.
فَإِذَا جَاءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ قَالُوا لَنَا هَذِهِ وَإِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَطَّيَّرُوا بِمُوسَى وَمَنْ مَعَهُ أَلَا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِنْدَ اللَّهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
“Kemudian apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: “Itu adalah karena (usaha) kami.” Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al A’raaf [7]: 131)
Perhatikanlah ayat di atas. Ketika Fir’aun dan pengikutnya mendapatkan hujan, kesuburan, rizki yang melimpah dan keselamatan, mereka menyatakan bahwa itu adalah karena mereka memang pantas untuk mendapatkannya. Mereka tidaklah mengakui bahwa limpahan nikmat tersebut berasal dari Allah lalu mensyukuri-Nya.
Namun, tatkala hujan tidak turun, kekeringan dan berbagai bencana datang, mereka menyatakan bahwa ini semua adalah kesialan dari Musa dan pengikutnya.
Begitulah juga kelakuan orang Arab dahulu. Tatkala mereka ingin melakukan sesuatu, terlebih dahulu mereka menggertak (membentak) buruk. Jika burung tersebut terbang ke arah kiri, ini pertanda sial. Namun, jika burung terbang ke arah kanan, ini pertanda baik (berkah).
Lihatlah pada penutup Al A’rof ayat 131 di atas. Terakhir, Allah Ta’ala katakan bahwa kesialan yang menimpa mereka sebenarnya adalah ketetapan dari Allah.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ahli tafsir Qur’an, mengatakan: maksud ayat terakhir ini adalah bahwa apa saja yang menimpa mereka berasal dari ketetapan Allah. (Lihatlah penjelasan ini dalam Zadul Masir pada tafsir surat Al A’raaf ayat 131)
Beranggapan sial dalam agama ini dikenal dengan istilah tathoyyur. Istilah ini berasal dari perbuatan orang Arab yang kami ceritakan di atas. Ketika mereka melakukan sesuatu, mereka membentak burung terlebih dahulu. Jika burung tersebut ke arah kiri, ini berarti pertanda sial sehingga mereka mengurungkan niat mereka untuk melakukan sesuatu tadi.
Perlu diketahui bahwa merasa sial seperti di atas dan contoh lainnya bukan hal yang biasa-biasa saja bahkan perbuatan ini termasuk kesyirikan sebagaimana yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam nyatakan sendiri. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ شِرْكٌ ». ثَلاَثًا « وَمَا مِنَّا إِلاَّ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ »
“Beranggapan sial termasuk kesyirikan, beranggapan sial termasuk kesyirikan. (Beliau menyebutnya tiga kali, lalu beliau bersabda). Tidak ada di antara kita yang selamat dari beranggapan sial. Menghilangkan anggapan sial tersebut adalah dengan bertawakkal.” (HR. Abu Daud no. 3912. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 429. Lihat penjelasan hadits ini dalam Al Qoulul Mufid – Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah)
Ringkasnya, beranggapan sial dengan sesuatu baik dengan waktu, bulan atau beranggapan sial dengan orang tertentu adalah suatu yang terlarang terlarang bahkan beranggapan sial termasuk kesyirikan.
Ingatlah bahwa setiap kesialan atau musibah yang menimpa, sebenarnya bukanlah disebabkan oleh waktu, orang atau tempat tertentu! Namun, semua itu adalah ketentuan Allah Ta’ala Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya.
Satu hal yang patut direnungkan. Seharusnya seorang muslim apabila mendapatkan musibah atau kesialan, hendaknya dia mengambil ibroh bahwa ini semua adalah ketentuan dan takdir Allah serta berasal dari-Nya. Allah tidaklah mendatangkan musibah, kesialan atau bencana begitu saja, pasti ada sebabnya. Di antara sebabnya adalah karena dosa dan maksiat yang kita perbuat. Inilah yang harus kita ingat, wahai saudaraku. Perhatikanlah firman Allah ‘Azza wa Jalla,
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.” (QS. Asy Syuraa [42] : 30)
Syaikh Sholih bin Fauzan hafizhohullah mengatakan, “Jadi, hendaklah seorang mukmin bersegera untuk bertaubat atas dosa-dosanya dan bersabar dengan musibah yang menimpanya serta mengharap ganjaran dari Allah Ta’ala. Janganlah lisannya digunakan untuk mencela waktu dan hari, tempat terjadinya musibah tersebut. Seharusnya seseorang memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya serta ridho dengan ketentuan dan takdir-Nya. Juga hendaklah dia mengetahui bahwa semua yang terjadi disebabkan karena dosa yang telah dia lakukan. Maka seharusnya seseorang mengintrospeksi diri dan bertaubat kepada Allah Ta’ala.” (Lihat I’anatul Mustafid dan Syarh Masa’il Jahiliyyah)
Jadi, waktu dan bulan tidaklah mendatangkan kesialan dan musibah sama sekali. Namun yang harus kita ketahui bahwa setiap musibah atau kesialan yang menimpa kita sudah menjadi ketetapan Allah dan itu juga karena dosa yang kita perbuat. Maka kewajiban kita hanyalah bertawakkal ketika melakukan suatu perkara dan perbanyaklah taubat serta istighfar pada Allah ‘azza wa jalla.
Lalu pantaskah  bulan Suro dianggap sebagai bulan sial dan bulan penuh bencana? Tentu saja tidak. Banyak bukti kita saksikan. Di antara saudara kami, ada yang mengadakan hajatan nikah di bulan Suro, namun acara resepsinya lancar-lancar saja, tidak mendapatkan kesialan. Bahkan keluarga mereka sangat harmonis dan dikaruniai banyak anak. Jadi, sebenarnya jika ingin hajatannya sukses bukanlah tergantung pada bulan tertentu atau pada waktu baik. Mengapa harus memilih hari-hari baik? Semua hari adalah baik di sisi Allah. Namun agar hajatan tersebut sukses, kiatnya adalah kita kembalikan semua pada Yang Di Atas, yaitu kembalikanlah semua hajat kita pada Allah. Karena Dia-lah sebaik-baik tempat bertawakal. Inilah yang harus kita ingat.
Syi’ah Menilai Muharram
Berlebihan Mengenang Kematian
Kepentingan kepada Muharram (Suro) tidak dimonopoli oleh suku atau bangsa tertentu. Syi’ah umpamanya, -mayoritas di Iran, meskipun di Indonesia sudah meruyak di berbagai sudut kota dan desa-, memiliki keyakinan tersendiri tentang Muharram (Suro). Terutama pada tanggal 10 Muharram, mereka mengadakan acara akbar untuk memperingati dan menuntut bela atas meninggalnya Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib di Karbala.
Seperti dikatakan oleh Musa Al-Musawi tokoh ulama mereka : “Belum pernah terjadi sepanjang sejarah adanya revolusi suci yang dikotori kaum Syi’ah dengan dalih mencintai Husain” Perbuatan buruk itu setiap tahun masih terus dilakukan kaum Syi’ah, terutama di Iran, Pakistan, India dan Nabtiyah di Libanon. Peritiwa ini sempat menimbulkan pertikaian berdarah anyara Syi’ah dan Ahlus Sunnah di beberapa daerah di Pakistan yang menelan korban ratusan jiwa yang tidak bersalah dari kedua belah pihak. [Lihat Mengapa Kita Menolak Syi’ah, LPPI hal. 85]
Dikatakan pula : “Orang-orang Syi’ah setiap bulan Muharram memperingati gugurnya Imam Husain di Karbala tahun 61H, peringatan tersebut dilakukan dengan cara berlebih-lebihan. Dari tanggal 1 Muharram sampai 9 Muharram diadakan pawai besar-besaran di jalan-jalan menuju ke Al-Husainiyah. Peserta pawai hanya mengenakan sarung saja sedang badannya terbuka.
Selama pawai mereka memukul-mukul dada dan punggungnya dengan rantai besi sehingga luka memar. Acara puncak dilakukan dengan melukai kepala terutama dahinya sehingga berlumuran darah. Darah yang mengalir ke kain putih yang dikenakan sehingga tampak sangat mencolok. Suasana seperti itu membuat mereka yang hadir merasa sedih, bahkan tidak sedikit yang menangis histeris. [Lihat Mengapa Kita Menolak Syi’ah, LPPI, hal. 51]
Berlebihan Mengenang Kematian
Kepentingan kepada Muharram (Suro) tidak dimonopoli oleh suku atau bangsa tertentu. Syi’ah umpamanya, -mayoritas di Iran, meskipun di Indonesia sudah meruyak di berbagai sudut kota dan desa-, memiliki keyakinan tersendiri tentang Muharram (Suro). Terutama pada tanggal 10 Muharram, mereka mengadakan acara akbar untuk memperingati dan menuntut bela atas meninggalnya Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib di Karbala.
Seperti dikatakan oleh Musa Al-Musawi tokoh ulama mereka : “Belum pernah terjadi sepanjang sejarah adanya revolusi suci yang dikotori kaum Syi’ah dengan dalih mencintai Husain” Perbuatan buruk itu setiap tahun masih terus dilakukan kaum Syi’ah, terutama di Iran, Pakistan, India dan Nabtiyah di Libanon. Peritiwa ini sempat menimbulkan pertikaian berdarah anyara Syi’ah dan Ahlus Sunnah di beberapa daerah di Pakistan yang menelan korban ratusan jiwa yang tidak bersalah dari kedua belah pihak. [Lihat Mengapa Kita Menolak Syi’ah, LPPI hal. 85]
Dikatakan pula : “Orang-orang Syi’ah setiap bulan Muharram memperingati gugurnya Imam Husain di Karbala tahun 61H, peringatan tersebut dilakukan dengan cara berlebih-lebihan. Dari tanggal 1 Muharram sampai 9 Muharram diadakan pawai besar-besaran di jalan-jalan menuju ke Al-Husainiyah. Peserta pawai hanya mengenakan sarung saja sedang badannya terbuka.
Selama pawai mereka memukul-mukul dada dan punggungnya dengan rantai besi sehingga luka memar. Acara puncak dilakukan dengan melukai kepala terutama dahinya sehingga berlumuran darah. Darah yang mengalir ke kain putih yang dikenakan sehingga tampak sangat mencolok. Suasana seperti itu membuat mereka yang hadir merasa sedih, bahkan tidak sedikit yang menangis histeris. [Lihat Mengapa Kita Menolak Syi’ah, LPPI, hal. 51]
Mengapa Syi’ah begitu ekstrim ?
Karena ziarah ke kuburan Al-Husain merupakan amalan yang mereka anggap paling mulia. Dalam kitab mereka semisal Furu’ul Kafi oleh Al-Kulani, Man La Yahdhuruhul Faqiihu oleh Ibnu Babawih dan kitab lainnya, diriwayatkan : “… Barangsiapa mendatangi kubur Al-Husain pada hari Arafah dengan mengakui haknya maka Allah akan menulis baginya seribu kali haji mabrur, seribu kali umrah mabrur dan seribu kali peperangan bersama Nabi yang diutus dan imam yang adil”.
Dalam kitab Kamiluzaroot dan Bahirul Anwar disebutkan “ Ziarah kubur Al-Husain merupakan amalan yang paling mulia”, riwayat lainnya, “Termasuk amalan yang paling mulia adalah ziarah kubur Al-Husain”. Bahkan Karbala itu lebih mulia dibanding Makkah Al-Mukaramah. Karena Al-Husain dikuburkan di disana. [Lihat Ushul Madzhab Asy-Syiah Al-Imamiyah Al-Itsna Asyriyah Dr Nashir Al-Qifari, hal. 460-464]
Larangan Ghuluw terhadap Orang Shalih
Demikian keyakinan Syi’ah, semua itu merupakan cerminan dari sikap ghuluw (berlebih-lebihan) mereka terhadap imamnya. Dan ini tidak aneh karena hal itu sudah menjadi tradisi mereka. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang bersikap ghuluw kepada orang shalih, sabdanya.
“Artinya : Semoga laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang Yahudi dan Nashara, mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai tempat ibadah (masjid)” [Hadits Riwayat Bukhari 435, Muslim 531]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi kabar tentang gereja yang ada di Habasyah (Ethiopia), dengan aneka ornamennya, lantas beliau bersabda. “Artinya : Mereka itu, apabila ada orang shalih meninggal, mereka bangun diatas kuburannya sebuah tempat ibadah dan membuat di dalam tempat itu gambar-gambar (patung-patung). Mereka itulah makhluk yang paling jelek disisi Allah” [Hadits Riwayat Bukhari 427 Muslim 528]

Diramu dari berbagai sumber
http://radiomajas.com/muharram-suro-bulan-keramat/

08 November 2012

Muslim Ibarat Lebah “An-Nahl”






Islam datang dengan cinta. Mengajarkan cinta dan bagaimana membuat manusia menjadi manusia. Islam datang dengan penuh kasih sayang, tak pernah mengajarkan bagaimana cara membuat tipu daya dengan berbagai cara. Ada syariat dengan menjalankan hukum Islam. Islam datang dengan kelembutan, tak pernah mengatakan kasar tentang hal ini dan itu. ia merupakan hukum tegas karena Allah yang membuat demikian.

Begitu banyak perumpamaan yang tertuang dalam Quran tentang manusia dan segala seluk beluknya. Manusia yang penuh dengan ketidak fahaman. Manusia yang penuh khilaf dan dosa. Namun, Allah tidak lantas meninggalkan kita. Dia menurunkan Quran kepada Muhammad tentang bagaimana menyikapi manusia yang jahiliyah dan ingkar. Karena itulah Allah banyak membuat perumpamaan dalam Quran.

Perumpamaannya seperti lebah. Lebah menghasilkan sesuatu yang baik, diapun juga memakan yang baik yaitu sari pati bunga, bermanfaat bagi yang lain. Dia menghisap sari pati bunga untuk membatu bunga tersebut bukan malah meninggalkan jejak buruk. Betullah sebuah hadits mengatakan, “Sebaik-baik manusia di antara kamu adalah yang bermanfaat bagi orang lain”. Itulah analogi seorang muslim. Yang dihasilkan oleh lebah yaitu madu ternyata bisa menyembuhkan berbagai penyakit manusia. Apa yang ia masukkan ternyata sama baiknya dengan apa yang ia keluarkan. Ia menyebarkan kesembuhan pada orang lain. Yah, itulah dakwah yang menyembuhkan berbagai penyakit manusia yaitu lupa, khilaf, dan bodoh. Pantaslah Allah menaruh tata cara berdakwah dalam surat An-Nahl (Lebah). Karena Allah ingin menunjukkan bahwa muslim ibarat lebah yang super hebat. Subhanallah.

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmahdan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (An-Nahl 125).

Lihatlah tata laku lebah yang menjadi perumpamaan umat muslim. Saling membangun menjaga keharmonisan yang terletak pada ukhuwah lebah. Ukhuwah lebah? Lucu memang. Namun, tak ada salah ketika menggunakan istilah itu dalam pemaknaan. Lebah saling bekerja sama membangun sebuah peradaban sarangnya. Teratur dan rapi.

“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: ‘Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia’. Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan.” (An-Nahl 68-69)

Tak hanya itu, ukhuwah lebah yang begitu mengikat membuat mereka begitu ketat menjaga sarangnya tersebut. Jika sarang tersebut dilempar oleh sebuah batu, maka tak heran dalam hitungan detik munculah pasukan lebah dengan senjata sengatan pada diri mereka untuk mengejar pelaku tersebut. Begitulah analogi yang diberikan Allah bagi orang-orang yang memikirkan. Muslim tidak akan menyerang jika tidak ada yang menyerang. Orang yang begitu teguh memegang Quran dan Sunnahnya memberikan kesembuhan pada orang lain dalam bentuk tingkah dan laku dalam mnedakwahkan kepada yang lain juga pada diri sendiri selayaknya lebah yang menyimpan madu untuk koloninya pada saat ataupun cadangan makanan. Dia tak pernah pilih kasih untuk menyebarkan madunya kepada siapapun.

Anggap saja lebah adalah seorang muslim yang memnyerap sari bunga (ilmu) dan menghasilkan madu (dakwah) dan ketika diserang maka dia akan menyerang (jihad). Subhallah, pantaslah ada salah satu surah bernama An-Nahl. Lebah.

Jadilah Seperti Lebah

Rasulullah saw. bersabda, “Perumpamaan orang beriman itu bagaikan lebah. Ia makan yang bersih, mengeluarkan sesuatu yang bersih, hinggap di tempat yang bersih dan tidak merusak atau mematahkan (yang dihinggapinya).” (Ahmad, Al-Hakim, dan Al-Bazzar)
Kehidupan ini agar menjadi indah, menyenangkan, dan sejahtera membutuhkan manusia-manusia seperti lebah. Menjadi apa pun, ia akan menjadi yang terbaik; apa pun peran dan fungsinya maka segala yang ia lakukan adalah hal-hal yang membuat orang lain, lingkungannya menjadi bahagia dan sejahtera. Sekarang, bandingkanlah apa yang dilakukan lebah dengan apa yang seharusnya dilakukan seorang mukmin, seperti berikut ini:
Hinggap di tempat yang bersih dan menyerap hanya yang bersih.
Lebah hanya hinggap di tempat-tempat pilihan. Dia sangat jauh berbeda dengan lalat. Serangga yang terakhir amat mudah ditemui di tempat sampah, kotoran, dan tempat-tempat yang berbau busuk. Tapi lebah, ia hanya akan mendatangi bunga-bunga atau buah-buahan atau tempat-tempat bersih lainnya yang mengandung bahan madu atau nektar.
Mengeluarkan yang bersih.
Siapa yang tidak kenal madu lebah. Semuanya tahu bahwa madu mempunyai khasiat untuk kesehatan manusia. Tapi dari organ tubuh manakah keluarnya madu itu? Itulah salah satu keistimewaan lebah. Dia produktif dengan kebaikan, bahkan dari organ tubuh yang pada binatang lain hanya melahirkan sesuatu yang menjijikan. Belakangan, ditemukan pula produk lebah selain madu yang juga diyakini mempunyai khasiat tertentu untuk kesehatan: liurnya!
Tidak pernah merusak
Seperti yang disebutkan dalam hadits yang sedang kita bahas ini, lebah tidak pernah merusak atau mematahkan ranting yang dia hinggapi. Begitulah seorang mukmin. Dia tidak pernah melakukan perusakan dalam hal apa pun: baik material maupun nonmaterial. Bahkan dia selalu melakukan perbaikan-perbaikan terhadap yang dilakukan orang lain dengan cara-cara yang tepat. Dia melakukan perbaikan akidah, akhlak, dan ibadah dengan cara berdakwah. Mengubah kezaliman apa pun bentuknya dengan cara berusaha menghentikan kezaliman itu.
Bekerja keras
Lebah adalah pekerja keras. Ketika muncul pertama kali dari biliknya (saat “menetas”), lebah pekerja membersihkan bilik sarangnya untuk telur baru dan setelah berumur tiga hari ia memberi makan larva, dengan membawakan serbuk sari madu. Dan begitulah, hari-harinya penuh semangat berkarya dan beramal. Bukankah Allah pun memerintahkan umat mukmin untuk bekerja keras? “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.” (Alam Nasyrah: 7)
Bekerja secara jama’i dan tunduk pada satu pimpinan
Lebah selalu hidup dalam koloni besar, tidak pernah menyendiri. Mereka pun bekerja secara kolektif, dan masing-masing mempunyai tugas sendiri-sendiri. Ketika mereka mendapatkan sumber sari madu, mereka akan memanggil teman-temannya untuk menghisapnya. Demikian pula ketika ada bahaya, seekor lebah akan mengeluarkan feromon (suatu zat kimia yang dikeluarkan oleh binatang tertentu untuk memberi isyarat tertentu) untuk mengudang teman-temannya agar membantu dirinya. Itulah seharusnya sikap orang-orang beriman
Tidak pernah melukai kecuali kalau diganggu
Lebah tidak pernah memulai menyerang. Ia akan menyerang hanya manakala merasa terganggu atau terancam. Dan untuk mempertahankan “kehormatan” umat lebah itu, mereka rela mati dengan melepas sengatnya di tubuh pihak yang diserang. Sikap seorang mukmin: musuh tidak dicari. Tapi jika ada, tidak lari.

07 November 2012

Renungan Di Balik Musibah

Saudaraku!
Ummu Salamah radhiallahu ‘anha mengisahkan: Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barang siapa ditimpa musibah, selanjutnya ia berkata:

إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِى فِى مُصِيبَتِى وَأَخْلِفْ لِى خَيْرًا مِنْهَا

“Niscaya Allah melimpahkan pahala kepadanya dalam musibah yang menimpanya itu dan menggantikannya dengan yang lebih baik dari apa yang telah sirna darinya.” Dan tatkala suamiku Abu Salamah meninggal dunia, akupun mengucapkan ucapan itu, sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ternyata Allah menggantikanku dengan yang lebih baik dari Abu Salamah, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Riwayat Al Bukhari)